Kontroversi Usia Pernikahan Aisyah RA Dengan Rasulullah SAW


Tahun 1923, pencatat pernikahan di Mesir mendapat instruksi untuk menolak pendaftaran dan dilarang menerbitkan surat nikah bagi calon suami berumur di bawah 18 tahun, dan calon isteri di bawah 16 tahun.

Tahun 1931, sidang oraganisasi-oraganisi hukum dan syariah mereka menetapkan tidak akan melayani pernikahan pasangan berusia seperti tersebut di atas (Women in Muslim Family Law, John Esposito, 1982). Ini menunjukkan bahwa di negara Mesir yang mayoritas penduduknya adalah Muslim pun, pernikahan di bawah umur tidak dibenarkan.

Fakta ini kemudian dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok anti-Islam dengan membenturkannya pada keyakinan umat muslim. Mereka menggugat pernikahan Rasulullah SAW dengan Siti Aisyah RA yang disebut-sebut masih sangat jauh di bawah umur. Dengan alasan itu, mereka menuduh Rasululullah SAW sebagai seorang phaedophili. Tuduhan ini, tentu saja, tidak lain adalah upaya mereka untuk menjauhkan umat Islam dari kecintaannya terhadap Nabi Muhammad SAW.






Latar Belakang Perkawinan dengan Aisyah dan Hafsha

Dalam Sejarah Hidup Muhammad oleh Muhammad Husein Haikal disebutkan bahwa: "Adapun Aisyah dan Hafsha adalah puteri-puteri dua orang pembantu dekatnya, Abu Bakar dan Umar. Segi inilah yang membuat Muhammad mengikatkan diri dengan kedua orang sahabatnya itu melalui ikatan perkawinan dengan puteri-puteri mereka. Sama juga halnya dengan ia mengikatkan diri kepada Usman dan Ali dengan jalan mengawinkan kedua puterinya kepada mereka. Jika benar kata orang mengenai Aisyah serta kecintaan Muhammad kepadanya, maka cinta itu tumbuh sesudah perkawinan, bukan sebelum atau saat menikah."

Gadis itu dipinangnya saat berusia 9 tahun dan dibiarkannya dua tahun sebelum perkawinan dilangsungkan (perkawinan di usia minimal 11 tahun). Logika tidak akan menerima bahwa dia sudah mencintainya dalam usia yang masih begitu kecil. Hal ini diperkuat lagi oleh perkawinannya dengan Hafsha binti Umar yang juga bukan karena dorongan cinta berahi, dengan ayahnya sendiri sebagai saksi. Namun oleh para orientalis, usia perkawinan Aisah ini diputarbalikkan menjadi fitnah yang sangat keji.

"Sungguh," kata Umar, "tatkala kami dalam zaman jahiliah, wanita-wanita tidak lagi kami hargai. Baru setelah Tuhan memberikan ketentuan tentang mereka dan memberikan pula hak kepada mereka."

Kita melihat bahwa Muhammad mengawini Aisyah atau mengawini Hafsha bukan karena cintanya atau karena dorongan birahi sebagaimana yang dituduhkan, akan tetapi demi memperkukuh ikatan kekeluargaan Islam (ukhuwah Islamiyah) yang baru tumbuh dalam diri dua orang sahabat dekatnya (Abu Bakar dan Umar) itu. Sama halnya ketika ia menikah dengan Sauda. Beliau menunjukkan kepada pejuang-pejuang Muslim agar mereka mengetahui bahwa jika mereka gugur untuk agama Allah, isteri-isteri dan anak-anak mereka tidak akan dibiarkan hidup sengsara dalam kemiskinan.

Perkawinannya dengan Janda-Janda
Perkawinannya dengah Zainab binti Khuzaima dan dengan Umm Salama mempertegas lagi hal itu. Zainab adalah isteri 'Ubaida bin'l-Harith bin'l-Muttalib yang gugur sebagai syuhada dalam perang Badar. Dia tidak cantik, tapi terkenal karena kebaikan hatinya dan suka menolong orang, sampai ia diberi gelar Umm'l-Masakin (Ibu orang-orang miskin). Usianya pun sudah tidak muda lagi. Hanya beberapa tahun setelah pernikahan itu, ia pun meninggal. Sesudah Khadijah, dialah satu-satunya isteri Nabi yang wafat mendahuluinya.

Kemudian peristiwa-peristiwa sejarah lain - terutama logika - juga telah menjadi saksi jujur yang menolak cerita misi-misi penginjil dan para Orientalis sehubungan dengan poligami Nabi.

Seperti kita ketahui, selama 28 tahun ia hanya beristrikan Khadijah seorang, tidak ada yang lain. Setelah Khadijah wafat, ia kawin dengan Sauda binti Zam'a, janda Sakran bin' Amr bin 'Abd Syams. Tidak ada suatu sumber yang menyebutkan bahwa Sauda adalah seorang wanita yang cantik, atau berharta atau mempunyai kedudukan tinggi yang menjadi pendorong hasrat duniawi dalam perkawinannya itu.

Yang benar, Sauda adalah isteri dari orang yang termasuk dalam kelompok pemeluk lslam pertama, bagian dari jajaran orang-orang yang membela agama, turut memikul berbagai macam penderitaan, turut berhijrah ke Abisinia setelah dianjurkan Nabi untuk hijrah ke seberang lautan itu. Sauda juga seorang pemeluk Islam pertama yang mengikuti rombongan hijrah itu bersama-sama. Ia juga turut sengsara, turut menderita. Jika setelah semua pengorbanannya ini - termasuk kehilangan suami di medan perang - Muhammad menikahinya guna memberikan perlindungan hidup dan untuk mengangkat kedudukannya setaraf dengan Umm'l-Mu'minin, maka hal ini justru sangat patut dipuji dan mendapat penghargaan yang tinggi. Sedang Umm Salama saat itu sudah memiliki beberapa orang anak dari Abu Salma.

Seperti disebutkan di atas, dalam perang Uhud Abu Salma menderita luka-luka, namun kemudian sembuh kembali. Oleh Nabi ia kemudian diserahi tugas memimpin pasukan untuk menghadapi Banu Asad yang berhasil di buatnya kucar-kacir. Ia kembali ke Medinah dengan membawa rampasan perang. Tetapi bekas lukanya di perang Uhud itu terbuka dan kembali mengucurkan darah yang dideritanya terus sampai meninggalnya. Ketika sudah di atas ranjang kematiannya, Nabi juga hadir dan terus mendampinginya sambil mendoakan untuk kebaikannya, sampai ia wafat. Empat bulan setelah kematiannya itu Muhammad meminta tangan Umm Salama.

Tetapi wanita ini menolak dengan lemah lembut karena ia memiliki banyak anak dan sudah tidak muda lagi. Namun pada akhirnya mereka menikah, dan Muhammad sendiri yang bertindak memelihara dan mengurus keperluan anak-anaknya.

Apakah dengan demikian para misi penginjil dan Orientalis itu masih akan menuduh bahwa karena kecantikan Umm Salamalah maka Muhammad terdorong untuk menikahinya?

Jika itu tuduhannya, tidakkah masih banyak gadis-gadis kaum Muhajirin dan Anshar yang lain, yang jauh lebih cantik, lebih muda, lebih kaya dan tentu saja lebih suka menjadi istri seorang yang sangat berpengaruh seperti Muhammad, dan beliau sendiri tidak harus dibebani oleh urusan anak-anaknya? Akan tetapi sebaliknya, ia menikahi Umm Salma karena pertimbangan yang luhur, sama halnya dengan perkawinannya dengan Zainab binti Khuzaima, yang membuat kaum Muslim bahkan makin cinta kepadanya. Membuat mereka lebih-lebih lagi memandangnya sebagai seorang Nabi dan Rasul Allah. Di samping pada dasarnya mereka sendiri telah menganggap Muhammad sebagai ayah. Ayah bagi segenap orang miskin, orang yang tertekan, orang lemah, orang yang sengsara dan tak berdaya. Ayah bagi setiap anak yang kehilangan ayah yang gugur dalam membela agama Allah.

Dari riwayat di atas, terlihat jelas bahwa Rasulullah tidak akan menikahi gadis kecil berusia 6 tahun. Kisah di atas menyiratkan bahwa saat dipinang, usia Aisyah setidaknya 9 tahun dan baru 2 tahun kemudian dinikahi (11 tahun menikah). Jadi memutar angka 6 dan 9 adalah teknik pengkaburan angka ide sang penebar fitnah.


PENELUSURAN BUKTI


[Bukti-1]
Pengujian Terhadap Sumber Fitnah

”Pernikahan gadis polos berumur 6 tahun, Aisyah, dengan Nabi Muhammad SAW”

Cerita tentang pernikahan Aisyah RA saat ia berusia 6 tahun ini tercetak dalam hadits yang diriwayatkan hanya oleh Hisham ibn `Urwah yang mencatat atas otoritas dari ayahnya. Sebuah hadits seharusnya dicatat oleh setidaknya 2 atau 3 orang yang mencatat hadits serupa. Adalah ganjil bahwa tidak ada seorang pun di Medinah, dimana Hisham ibn `Urwah tinggal sampai berusia 71 tahun yang meriwayatkan hal ini. Padahal banyak murid-murid lain di Medinah termasuk yang kesohor seperti Malik ibn Anas misalnya. Namun tidak satu pun dari mereka yang meriwayatkan ini. Asal dari riwayat ini adalah dari orang-orang Iraq, di mana Hisham menetap dan menghabiskan hari tuanya setelah pindah dari Medinah.

Tehzibu’l-Tehzib, salah satu buku yang cukup terkenal yang berisi catatan para periwayat hadist, menurut Yaqub ibn Shaibah mencatat: "Hisham sangat bisa dipercaya, riwayatnya dapat diterima, kecuali apa-apa yang dia ceritakan setelah pindah ke Iraq” [Tehzi’bu’l-Tehzi’b, Ibn Hajar Al-`asqala’ni, Dar Ihya Al-Turath Al-Islami, 15th Century. Vol 11, p.50].

Dalam pernyataan lebih lanjut, Malik ibn Anas menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq: ”Saya pernah diberitahu bahwa Malik menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq." [Tehzi’b u’l-Tehzi’b, IbnHajar Al- `asqala’ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, Vol.11, p. 50]

Mizanu’l-ai`tidal, buku lain yang berisi uraian riwayat hidup pada periwayat hadist Nabi saw mencatat: “Ketika masa tua, ingatan Hisham mengalami kemunduran yang mencolok” [Mizanu’l-ai`tidal, Al-Zahbi, Al-Maktabatu’l-athriyyah, Sheikhupura, Pakistan, Vol. 4, p. 301].

Kesimpulan:

Berdasarkan referensi ini, diketahui bahwa ingatan Hisham mengalami kemunduran yang serius dan karenanya riwayat-riwayatnya setelah ia pindah ke Iraq pun tidak lagi dapat dipercaya. Termasuk dalam hal ini riwayat tentang usia pernikahan Aisyah dengan Rasulullah SAW.

[Bukti-2]
Meminang

Menurut Tabari (juga menurut Hisham ibn `Urwah, Ibn Hunbal and Ibn Sad), Aisyah dipinang pada usia 7 tahun dan mulai berumah tangga pada usia 9 tahun. Tetapi, di bagian lain, Al-Tabari mengatakan: “Semua anak Abu Bakar (4 orang) dilahirkan pada masa jahiliyah dari 2 isterinya.” [Tarikhu’l-umam wa’l-mamlu’k, Al-Tabari (died 922), Vol. 4,p. 50, Arabic, Dara’l-fikr, Beirut, 1979]

Jika Aisyah dipinang 620M (Aisyah umur 7 tahun) dan berumah tangga tahun 623/624 M (usia 9 tahun), ini mengindikasikan bahwa Aisyah dilahirkan pada 613 M. Sehingga berdasarkan tulisan Al Tabari, Aisyah seharusnya dilahirkan pada 613M, Yaitu 3 tahun sesudah masa jahiliyah usai (610 M).

Tabari juga menyatakan bahwa Aisyah dilahirkan pada saat jahiliyah. Jika Aisyah dilahirkan pada era Jahiliyah, seharusnya minimal Aisyah berumur 14 tahun ketika dinikahi. Tetapi intinya Tabari mengalami kontradiksi dalam periwayatannya sendiri.

Menurut Ibn Hajar, “Fatimah dilahirkan ketika Ka`bah dibangun kembali, ketika Nabi saw berusia 35 tahun. Fatimah 5 tahun lebih tua dari Aisyah.” [Al-isabah fi tamyizi’l-sahabah, Ibn Hajar al-Asqalani, Vol. 4, p. 377, Maktabatu’l-Riyadh al-haditha, al-Riyadh,1978].

Jika pernyataan Ibn Hajar benar, berarti Aisyah dilahirkan ketika Nabi berusia 40 tahun. Jika Aisyah dinikahi Nabi pada saat usia Nabi 52 tahun, usia Fatimah minimal 17 tahun, maka usia Aisyah ketika menikah adalah minimal 12 tahun.

Kesimpulan:

Riwayat Al-Tabari mengenai umur Aisyah ketika menikah diragukan. Menurut Ibn Hajar, Tabari, Ibn Hisham, dan Ibn Humbal tampak nyata bahwa riwayat Aisyah menikah usia 6 tahun merupakan perhitungan yang keliru, sehingga menyebabkan timbulnya fitnah sangat keji yang kemudian sengaja dilontarkan oleh kaum yang ingin menjauhkan Rasulullah SAW dari hati umat Islam.

[Bukti-3]
Umur Aisyah dihitung dari umur Asma’

Menurut Abda’l-Rahman ibn abi zanna’d: “Asma lebih tua 10 tahun dibanding Aisyah." (Siyar A`la’ma’l-nubala’, Al-Zahabi, Vol. 2, p. 289, Arabic, Mu’assasatu’l-risalah, Beirut, 1992). Menurut Ibn Kathir: “Asma lebih tua 10 tahun dari adiknya (Aisyah)” [Al-Bidayah wa’l-nihayah, IbnKathir, Vol. 8, p. 371,Dar al-fikr al-`arabi, Al-jizah, 1933].

Menurut Ibn Kathir: “Asma melihat pembunuhan anaknya pada tahun 73 H, dan 5 hari kemudian Asma meninggal. Menurut riwayat lainya, dia meninggal 10 atau 20 hari kemudian, atau bebrapa hari lebih dari 20 hari, atau 100 hari kemudian. Riwayat yang paling kuat adalah 100 hari kemudian. Pada waktu Asma Meninggal, dia berusia 100 tahun” [Al-Bidayah wa’l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 372, Dar al-fikr al-`arabi, Al- jizah, 1933]

Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani: “Asma hidup sampai 100 tahun dan meninggal pada 73 atau 74 H.” [Taqribu’l-tehzib, Ibn Hajar Al-Asqalani,p. 654, Arabic, Bab fi’l-nisa’, al-harfu’l-alif, Lucknow]

Menurut sebagaian besar ahli sejarah, Asma, Saudara tertua dari Aisyah berselisuh usia 10 tahun. Jika Asma wafat pada usia 100 tahun dia tahun 73 H, Asma seharusnya berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (622M). Jika Asma berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (ketika Aisyah berumah tangga), Aisyah seharusnya berusia 17 atau 18 tahun. Dengan demikian, dan ini masuk akal, Aisyah berusia 17 atau 18 tahun ketika hijrah pada tahun di mana ia berumah tangga.

Bahkan menurut Hajar, Ibn Katir, and Abda’l-Rahman ibn abi Zanna’d, usia Aisyah ketika beliau berumah tangga dengan Rasulullah adalah 19 atau 20 tahun.

Dalam bukti 3, Ibn Hajar memperkirakan usia Aisyah berdasar usia Fatimah, yaitu 12 tahun. Sedangkan dalam bukti 4 Ibn Hajar memperhitungkan usia Aisyah berdasar usia Asma’ yakni antara 17 sampai 18 tahun. Jadi, pendapat yang menyatakan bahwa Aisyah menikah saat berusia 6 tahun menjadi semakin tidak berdasar.

Kesimpulan:

Ibn Hajar dalam periwayatan usia Aisyah jelas membantah bahwa Aisyah menikah saat berusia 6 tahun.

[Bukti-4]
Perang Badar dan Uhud

Sebuah riwayat mengenai partisipasi Aisyah dalam perang Badr dijabarkan dalam Hadist Muslim, (Kitabu’l-jihad wa’l-siyar, Bab Karahiyati’l-isti`anah fi’l-ghazwi bikafir). Aisyah, ketika menceritakan salah satu moment penting dalam perjalanan selama perang Badar, mengatakan: “ketika kita mencapai Shajarah”. Dari pernyataan ini tampak jelas, Aisyah merupakan anggota perjalanan menuju Badar. Sebuah riwayat mengenai partisipasi Aisyah dalam Uhud tercatat dalam Bukhari (Kitabu’l-jihad wa’l-siyar, Bab Ghazwi’l-nisa’ wa qitalihinnama`a’lrijal): “Anas mencatat bahwa pada hari Uhud, Orang-orang tidak dapat berdiri dekat Rasulullah. (pada hari itu), Saya melihat Aisyah dan Umm-i-Sulaim dari jauh, Mereka menyingsingkan sedikit pakaian-nya (untuk mencegah halangan gerak dalam perjalanan tsb).”

Lagi-lagi, hal ini menunjukkan bahwa Aisyah ikut berada dalam perang Uhud dan Badr.

Diriwayatkan oleh Bukhari (Kitabu’l-maghazi, Bab Ghazwati’l-khandaq wa hiya’l-ahza’b): “Ibn `Umar menyatakan bahwa Rasulullah tidak mengijinkan dirinya berpastisispasi dalam Uhud, pada ketika itu, Ibnu Umar berusia 14 tahun. Tetapi ketika perang Khandaq, ketika berusia 15 tahun, Nabi mengijinkan Ibnu Umar ikut dalam perang tsb.”

Berdasarkan riwayat diatas, (a) anak-anak berusia dibawah 15 tahun akan dipulangkan dan tidak diperbolehkan ikut dalam peperangan, dan (b) Aisyah ikut dalam perang badar dan Uhud.

Kesimpulan:

Aisyah ikut dalam perang Badar dan Uhud. Ini jelas mengindikasikan bahwa saat itu beliau tidak mungkin berusia 6 tahun, melainkan setidak-tidaknya telah berusia 15 tahun. Di samping itu, wanita-wanita yang ikut menemani para pria dalam perang sudah seharusnya berfungsi untuk membantu, bukan untuk menambah beban bagi mereka. Ini merupakan bukti lain dari kontradiksi usia pernikahan Aisyah.

[Bukti 5]
Surat al-Qamar (Bulan)

Menurut beberapa riwayat, Aisyah dilahirkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah. Tetapi menurut sumber lain dalam Bukhari, Aisyah tercatat mengatakan hal ini: “Saya seorang gadis muda (jariyah dalam bahasa arab)” ketika Surah Al-Qamar diturunkan." [Sahih Bukhari, kitabu’l-tafsir, Bab Qaulihi Bal al-sa`atu Maw`iduhum wa’l-sa`atu adha’ wa amarr].

Surat 54 dari Quran diturunkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah (The Bounteous Koran, M.M. Khatib, 1985), menunjukkan bahwa surat tersebut diturunkan pada tahun 614 M. jika Aisyah memulai berumahtangga dengan Rasulullah pada usia 9 di tahun 623 M atau 624 M, maka Aisyah masih bayi yang baru lahir (sibyah dalam bahasa arab) pada saat Surah Al-Qamar diturunkan. Menurut riwayat di atas, secara aktual tampak bahwa Aisyah adalah gadis muda, bukan bayi yang baru lahir ketika pewahyuan Al-Qamar. Jariyah berarti gadis muda yang masih suka bermain (Lane’s Arabic English Lexicon). Jadi, Aisyah, telah menjadi jariyah bukan sibyah (bayi), atau berusia antara 6-13 tahun saat turunnya surah Al-Qamar. Dan ini menunjukkan bahwa hampir pasti ua berusia minimal 14 sampai 21 tahun ketika dinikah Nabi.

Kesimpulan:

Riwayat ini juga bertentangan dengan riwayat pernikahan Aisyah yang berusia 6 tahun.

[Bukti-6]
Terminologi bahasa Arab

Menurut riwayat dari Ahmad ibn Hanbal, sesudah meninggalnya isteri pertama Rasulullah (Khadijah), Khaulah datang kepada Nabi dan menasehati Nabi untuk menikah lagi. Nabi bertanya kepadanya tentang pilihan yang ada di pikiran Khaulah. Khaulah berkata: “Anda dapat menikahi seorang gadis (bikr) atau seorang wanita yang pernah menikah (thayyib)”. Ketika Nabi bertanya tentang identitas gadis (bikr) tersebut, Khaulah menyebutkan nama Aisyah.

Bagi orang yang paham bahasa Arab akan segera melihat bahwa kata bikr dalam bahasa Arab tidak digunakan untuk gadis belia berusia 6 tahun. Kata yang tepat untuk gadis belia yang masih suka bermain-main, seperti dinyatakan di muka, adalah jariyah. Bikr di sisi lain, digunakan untuk seorang wanita yang belum menikah serta belum punya pertautan pengalaman dengan pernikahan, sebagaiaman kita pahami dalam bahasa Inggris “virgin”. Oleh karean itu, tampak jelas bahwa gadis belia 6 tahun bukanlah “wanita” (bikr) (Musnad Ahmad ibn Hanbal, Vol. 6, p. .210,Arabic, Dar Ihya al-turath al-`arabi, Beirut).

Kesimpulan:

Arti literal dari kata, bikr (gadis), dalam hadist diatas adalah “wanita dewasa, yang belum punya pengalaman sexual dalam pernikahan (virgin).” Oleh karena itu, Aisyah adalah seorang gadis dewasa pada saat menikah.

Tidak ada tradisi Arab untuk menikahkan anak perempuan atau laki-laki yang berusia 6 tahun, Demikian juga tidak ada pernikahan Rasulullah saw dan Aisyah ketika berusia 6 tahun. Orang-orang arab tidak pernah memunculkan isue keberatan terhadap pernikahan di bawah umur ini, karena memang hal ini tidak pernah terjadi sebagaimana yang diributkan oleh para misionaris dan orientalis sampai hari ini.

Maka jelaslah riwayat pernikahan Aisyah pada usia 6 tahun oleh Hisham ibn `Urwah tidak bisa dianggap sebagai kebenaran, karena tidak sesuai dengan riwayat-riwayat lain. Lebih jauh lagi, tidak ada alasan yang nyata untuk menerima riwayat Hisham ibn `Urwah sebagai kebenaran ketika para ahli Tarikh (sejarah Islam) lain, termasuk Malik ibn Anas, melihat riwayat Hisham ibn `Urwah selama di Iraq adalah tidak reliable dan kontradiktif dengan pernyataan dari Tabari, Bukhari dan Muslim yang menunjukkan usia Aisyah 6 tahun ketika menikah adalah tidak nyata pada catatan klasik dari ahli sejarah Islam.

Oleh karena itu, tidak ada alasan absolut untuk menerima dan mempercayai dengan begitu saja bahwa usia Aisyah 6 tahun ketika dinikahi Rasullulah SAW. Berita ini tidak dapat diterima sebagai sebuah kebenaran karena bertentangan dengan penjelasan para ahli Tarikh dan periwayat Hadits lainnya.

Berita menyesatkan ini nyata-nyata adalah fitnah (yang tidak memiliki dasar kuat) terhadap Rasulullah SAW, sekaligus penghinaan kepada seluruh umat muslim!

Kronologi adalah suatu hal yang vital untuk mencatat dan mengingat tanggal penting dalam sejarah Islam:
  • Pra-610 M: Jahiliyah (pra-Islamic era) sebelum turun wahyu 
  • 610 M: turun wahyu pertama dan AbuBakar menerima Islam 
  • 613 M: Nabi Muhammad mulai mengajar ke Masyarakat 
  • 615 M: Hijrah ke Abyssinia 
  • 616 M: Umar bin al Khattab menerima Islam. 
  • 620 M: dikatakan Nabi meminang Aisyah 
  • 622 M: Hijrah ke Yathrib, kemudian dinamai Madinah. 
  • 623-624 M: Diriwayatkan Rasulullah SAW berumah tangga dengan Aisyah

Terjemahan in Indonesia of The Ancient Myth Exposed By T.O. Shanavas , di Michigan. © 2001 Minaret from The Minaret. Source: http://www.iiie.net/

Muhammad Husain Haekal, Seri Pustaka Islam. Sejarah Hidup Muhammad Penerbit PUSTAKA JAYA. Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat Cetakan Kelima, 1980.



[Dihimpun Dari Berbagai Sumber].





Share on Google Plus

Bagus Pamungkas

Saya adalah salahseorang cantrik Sekolah Minggu Gus Mendem dan Kawan Kawan dalam barisan Muslim yang melawan aksi penyesatan iman dan segala bentuk upaya pemurtadan terhadap umat Islam yang dilakukan secara melawan hukum baik oleh individu-individu maupun kelompok-kelompok tertentu demi kepentingan Kristen. Meski demikian, blog ini tidak dimaksudkan untuk umat Kristen secara luas melainkan terbatas hanya untuk para Misionaris, Evangelis, dan pendukungnya saja. Publikasi blog ini adalah bagian dari tugas para cantrik Gus Mendem menghimpun berbagai konten yang relevans dengan isu di atas, untuk selanjutnya diwartakan ke tengah-tengah komunitas penginjil dimaksud
UNTUK DIPERHATIKAN
Admins menghormati hak kebebasan berpendapat anda dalam merespons artikel manapun yang tersaji di sini. Karenanya, tidak ada pemberlakuan persyaratan khusus yang dapat diartikan sebagai pembatasan atas hak tsb. Sebagai gantinya, kami hanya minta anda menghormati kewajiban moral anda sendiri dengan menghargai tata-krama serta adab yang berlaku dalam budaya kita. Ekspresikanlah pendapat anda dengan menggunakan bahasa yang baik. Terima kasih.
    Blogger
    Facebook

0 Comments:

Post a Comment