Debat Dalam Hukum Islam


Bismillahirakhmanirrakhim.
Puji  syukur  kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala yang senantiasa melimpahkan  rahmat dan karunia-Nya sehingga pada kesempatan ini penulis dapat  kesempatan untuk sedikit menjawab hujatan yang telah ditujukan kepada  Agama Islam yang tercinta ini.

Kemudian shalawat serta salam untuk Nabi kita Muhammad salallahu'alaihi  wassalam,yang telah bersusah payah memperjuangkan agama yang kita cintai  ini dan yang pula membimbing kita untuk masuk surga,dan untuk demi  tegaknya kalimat tauhid dipermukaan bumi ini,begitu pula untuk para  keluarga dan sahabat Beliau serta orang-orang yang setia berpegang teguh  dengan ajaran Beliau sampai kemudian hari nanti.

Apa Hukum Berdebat tentang Agama dalam Islam?
Dari Abu Umamah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: 

مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ  إِلَّا أُوتُوا الْجَدَلَ ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ  عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْآيَةَ: مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا  بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ
“Tidaklah suatu kaum tersesat setelah tadinya  mereka berada di atas petunjuk kecuali karena mereka adalah kaum yang  senang melakukan perdebatan.”

Kemudian beliau membaca ayat ini,
“Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu  melainkan dengan maksud berdebat saja, sebenarnya mereka adalah kaum  yang suka bertengkar.” (QS. Az-Zukhruf: 58) [HR. At-Tirmizi no. 3253,  Ibnu Majah no. 47, dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Shahih  Al-Jami’ no. 5633]

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: 

إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ
“Sesungguhnya orang yang paling dimurkai Allah  adalah orang yang paling keras permusuhannya dan yang menantang jika  diterangkan hujjah kepadanya”. [HR. Al-Bukhari no. 2457 dan Muslim no.  2668]

Dari Abu Umamah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ  لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ  الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِي  أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ
“Aku akan menjamin sebuah rumah di tepi surga  bagi siapa saja yang meninggalkan perdebatan meskipun dia yang benar.  Aku juga menjamin rumah di tengah surga bagi siapa saja yang  meninggalkan kedustaan walaupun dia sedang bergurau. Dan aku juga  menjamin rumah di surga yang paling tinggi bagi siapa saja yang  berakhlak baik.” [HR. Abu Daud no. 4800 dan dinyatakan hasan oleh  Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 1464] 

Perdebatan dalam agama yang tidak sesuai dengan  aturan syar’i merupakan salah satu di antara penyakit lisan yang sangat  berbahaya. Dia merupakan sebab terjadinya perpecahan, pemutusan  hubungan, saling menjauhi di antara sesama kaum muslimin. Perdebatan  juga bisa menjadi sebab keras dan sesaknya hati karena bisa melahirkan  kedengkian kepada kaum muslimin lainnya, plus banyaknya waktu yang  terbuang akibat melakukan perdebatan ini dan kurangnya manfaat yang  lahir darinya. 

Karenanya Allah Ta’ala dan Rasul-Nya telah  menutup semua wasilah menuju kepada perdebatan yang tidak bermanfaat,  dengan memberikan janji surga kepada orang yang meninggalkan perdebatan  walaupun dia yang benar, dan sebaliknya Allah sangat murka kepada  orang-orang yang bergampangan terjun dalam perdebatan tanpa mengindahkan  aturan-aturan syariat di dalamnya. 

Dan  telah benar Allah dan Rasul-Nya, bahwa  setiap orang yang terjun ke dalam perdebatan yang tidak berguna pasti  akan berakhir pada kesesatan, kecuali mereka yang masih dirahmati oleh  Allah, dan sangat sedikit sekali jumlah mereka ini. Tidakkah kita  mengambil pelajaran dari orang-orang yang telah berlalu sebelum kita,  yang mereka ini lebih berilmu dibandingkan kita, bagaimana akhirnya  mereka terjerumus ke dalam kesesatan akibat mereka berdebat dalam  masalah agama, walaupun ada segelintir di antara mereka yang masih bisa  kembali kepada kebenaran. Sebut saja di antaranya: Jahm bin Shafwan  penyebar mazhab Jahmiah, Washil bin Atha’ pencetus mazhab Mu’tazilah,  Imam Al-Ghazali, Fakhrur Razi, Asy-Syahrastani, dan selainnya.

Karenanya para ulama di setiap zaman menegaskan  dalam kitab-kitab akidah mereka, bahwa di antara ciri khas ahlussunnah  adalah menjauhi semua bentuk perdebatan. Karenanya siapa saja yang  terjun dalam perdebatan dalam agama maka dia telah bermain-main di  daerah terlarang, yang bisa mengeluarkan dia dari ahlussunnah. Hanya  saja walaupun demikian, para ulama tetap memberikan persyaratan yang  sangat ketat mengenai kapan perdebatan dibolehkan. Hal itu karena ada  segelintir ulama (tidak banyak) yang diketahui mengadakan perdebatan  dengan pengikut hawa nafsu (seperti Imam Ahmad, Utsman bin Said  Ad-Darimi, dan Ibnu Taimiah), bahkan para nabipun berdebat dengan  kaumnya. 

Maka ini menunjukkan bahwa hukum asal perdebatan dalam agama adalah haram, kecuali jika terpenuhi syarat-syaratnya, yaitu:
  1. Ikhlas guna meninggikan kalimat Allah, bukan dengan niat untuk menjadi tenar.
  2. Orang yang berdebat harus mapan keilmuannya  dalam masalah yang dia perdebatkan. Jika dia orang yang jahil atau  ilmunya masih setengah-setengah maka diharamkan atasnya
  3. Dia yakin -atau dugaan besar- dia bisa  menang. Jika dia tidak yakin bisa menang maka dia wajib meninggalkan  perdebatan itu.
  4. Ada kemungkinan pihak lawan jika dia kalah  maka dia akan kembali kepada kebenaran. Jika pihak lawan diketahui  sebagai orang yang keras kepala dan tidak akan bertaubat walaupun kalah  maka tidak boleh berdebat dengannya.
  5. Jika dia tidak berdebat maka kebenaran akan tertutupi dan kebatilan yang akan menyebar.
  6. Ada maslahat darinya, baik yang kembalinya  kepada pihak lawan dengan dia bertaubat maupun yang kembalinya kepada  masyarakat dengan mereka menjauhi pihak lawan tersebut. Adapun jika  tidak ada manfaatnya sama sekali, walaupun mereka kalah tapi masyarakat  tetap tidak goyah dalam mengikuti mereka maka ini perdebatan itu adalah  perbuatan sia-sia.  
Ahlus Sunnah wal Jama’ah Melarang Perdebatan dan Permusuhan Dalam Agama. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang dari hal tersebut. Dalam Ash-Shohihain dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: 

اِقْرَأُوْا الْقُرْآنَ مَا ائْتَلَفَتْ عَلَيْهِ قُلُوْبُكُمْ فَإِذَا اخْتَلَفْتُمْ فَقُوْمُوْا عَنْهُ
“Bacalah Al-Qur`an selama hati-hati kalian masih bersatu, maka jika kalian sudah berselisih maka berdirilah darinya”.

Dan dalam Al-Musnad dan Sunan Ibnu Majah –dan asalnya dalam Shohih Muslim- dari ‘Abdullah bin ‘Amr : 

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  خَرَجَ وَهُمْ يَخْتَصِمُوْنَ فِي الْقَدْرِ فَكَأَنَّمَا يَفْقَأُ فِي  وَجْهِهِ حُبُّ الرُّمَّانِ مِنَ الْغَضَبِ، فَقَالَ : بِهَذَا أُمِرْتُمْ  ؟! أَوْ لِهَذَا خُلِقْتُمْ ؟ تَضْرِبُوْنَ الْقُرْآنَ بَعْضَهُ بِبَعْضٍ!!  بِهَذَا هَلَكَتِ الْأُمَمُ قَبْلَكُمْ
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam  pernah keluar sedangkan mereka (sebagian shahabat-pent.) sedang  berselisih tentang taqdir, maka memerahlah wajah beliau bagaikan  merahnya buah rumman karena marah, maka beliau bersabda

“Apakah dengan ini kalian diperintah?! Atau untuk  inikah kalian diciptakan?! Kalian membenturkan sebagian Al-Qur’an  dengan sebagiannya!! Karena inilah umat-umat sebelum kalian binasa”.

Bahkan telah datang hadits (yang menyatakan)  bahwa perdebatan adalah termasuk dari siksaan Allah kepada sebuah ummat.  Dalam Sunan At-Tirmidzy dan Ibnu Majah dari hadits Abu Umamah  radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi  wasallam bersabda: 

مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوْا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوْتُوْا الْجَدَلَ، ثُمَّ قَرَأَ : مَا ضَرَبُوْهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً
“Tidaklah sebuah kaum menjadi sesat setelah  mereka dulunya berada di atas hidayah kecuali yang suka berdebat,  kemudian beliau membaca (ayat) “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu  kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja”. 

Imam Ahmad rahimahullah berkata:
“Pokok-pokok sunnah di sisi kami adalah berpegang  teguh dengan apa yang para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi  wasallam berada di atasnya dan mencontoh mereka. Meninggalkan semua  bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat. Meninggalkan permusuhan dan  (meninggalkan) duduk bersama orang-orang yang memiliki hawa nafsu. Dan  meninggalkan perselisihan, perdebatan dan permusuhan dalam agama”.

PERDEBATAN YANG TERCELA
Yaitu semua perdebatan dengan kebatilan, atau  berdebat tentang kebenaran setelah jelasnya, atau perdebatan dalam  perkara yang tidak diketahui oleh orang-orang yang berdebat, atau  perdebatan dalam mutasyabih (1) dari Al-Qur’an atau perdebatan tanpa  niat yang baik dan yang semisalnya.

PERDEBATAN YANG TERPUJI
Adapun jika perdebatan itu untuk menampakkan  kebenaran dan menjelaskannya, yang dilakukan oleh seorang ‘alim dengan  niat yang baik dan konsisten dengan adab-adab (syar’iy) maka perdebatan  seperti inilah yang dipuji. Allah Ta’ala berfirman: 

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan  hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang  baik”. (QS. An-Nahl : 125)

Dan Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik”. (QS. Al-‘Ankabut : 46)

قَالُوا يَانُوحُ قَدْ جَادَلْتَنَا فَأَكْثَرْتَ جِدَالَنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ
“Mereka berkata: “Hai Nuh, sesungguhnya kamu  telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu  terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan  kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar”.
(QS. Hud : 32)

Contoh-Contoh Perdebatan Syar’i:
Allah Ta’ala mengkhabarkan tentang perdebatan  Ibrahim ‘alaihis shalatu wassalam melawan kaumnya dan (juga) Musa  ‘alaihis shalatu wassalam melawan Fir’aun.

Dan dalam As-Sunnah disebutkan tentang perdebatan antara Adam dan Musa ‘alaihimas shalatu wassalam. Dan telah dinukil dari (salafy)  salafus shaleh banyak perdebatan yang semuanya termasuk perdebatan yang  terpuji yang terpenuhi di dalamnya (syarat-syarat berikut): 

1. Ilmu (tentang masalah yang diperdebatkan-pent.).
2. Niat (yang baik-pent.).
3. Mutaba’ah.
4. Adab dalam perdebatan.
___________
(1) Yaitu ayat-ayat yang kurang jelas maknanya pada sebagian orang karena adanya beberapa kemungkinan makna.


Sumber:
1. Al-Atsariyyah - Tercelanya Perdebatan



[Dari Ustadz Ahid Ezra]
Share on Google Plus

Bagus Pamungkas

Saya adalah salahseorang cantrik Sekolah Minggu Gus Mendem dan Kawan Kawan dalam barisan Muslim yang melawan aksi penyesatan iman dan segala bentuk upaya pemurtadan terhadap umat Islam yang dilakukan secara melawan hukum baik oleh individu-individu maupun kelompok-kelompok tertentu demi kepentingan Kristen. Meski demikian, blog ini tidak dimaksudkan untuk umat Kristen secara luas melainkan terbatas hanya untuk para Misionaris, Evangelis, dan pendukungnya saja. Publikasi blog ini adalah bagian dari tugas para cantrik Gus Mendem menghimpun berbagai konten yang relevans dengan isu di atas, untuk selanjutnya diwartakan ke tengah-tengah komunitas penginjil dimaksud
UNTUK DIPERHATIKAN
Admins menghormati hak kebebasan berpendapat anda dalam merespons artikel manapun yang tersaji di sini. Karenanya, tidak ada pemberlakuan persyaratan khusus yang dapat diartikan sebagai pembatasan atas hak tsb. Sebagai gantinya, kami hanya minta anda menghormati kewajiban moral anda sendiri dengan menghargai tata-krama serta adab yang berlaku dalam budaya kita. Ekspresikanlah pendapat anda dengan menggunakan bahasa yang baik. Terima kasih.
    Blogger
    Facebook

0 Comments:

Post a Comment