Sebelum lebih jauh membicarakan Jiwa, ada baiknya jika lebih dulu kita pahami perbedaan antara Jiwa dan Ruh, sebab tidak sedikit di antara kita yang masih rancu dalam memahami keduanya.
Pengertian Ruh di antaranya adalah untuk menggambarkan ‘sesuatu’ yang menyebabkan timbul atau munculnya kehidupan pada objek-objek yang tadinya (merupakan benda) mati, sekaligus 'menularkan' sifat-sifat ketuhanan kepada objek tsb. Selain itu, kata Ruh juga digunakan untuk menggambarkan eksistensi malaikat, dalam bentukan kata Ruh Al-Qudus dan Ruh Al-Amin.
Ayat berikut ini menggambarkan fungsi kehidupan.
"Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur." (QS. As Sajadah[32]: 9)
Setidak-tidaknya ada tiga hal yang menyebabkan Ruh dan Jiwa berbeda. Yang pertama, karena substansinya. Yang kedua, karena fungsinya. Dan yang ketiga, karena sifatnya.
Perbedaan yang pertama, pada substansinya.
Jiwa dan Ruh berbeda dari segi kualitas eksistensinya. Jiwa digambarkan sebagai eksitensi yang dapat berubah-ubah kualitas: naik dan turun, jelek dan baik, kotor dan bersih, dan seterusnya. Sedangkan Ruh digambarkan sebagai eksistensi yang selalu baik dan suci, berkualitas tinggi. Bahkan digambarkan sebagai 'turunan' dari Dzat Ketuhanan.
Jiwa dan Ruh berbeda dari segi kualitas eksistensinya. Jiwa digambarkan sebagai eksitensi yang dapat berubah-ubah kualitas: naik dan turun, jelek dan baik, kotor dan bersih, dan seterusnya. Sedangkan Ruh digambarkan sebagai eksistensi yang selalu baik dan suci, berkualitas tinggi. Bahkan digambarkan sebagai 'turunan' dari Dzat Ketuhanan.
"Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya Ruh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud." (QS. Al-Hijr [15]: 29)
Tingginya kualitas Ruh itu tergambar dari dua hal, sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Yang pertama, ditunjukkan oleh tunduknya malaikat kepada manusia. Dan yang kedua, ditunjukkan oleh penggunakan kata ganti "KU", yang menggambarkan bahwa Allah menyatakan betapa dekatnya eksistensi yang bernama Ruh itu dengan Allah.
Kita tahu, malaikat tunduk kepada Adam setelah Allah 'meniupkan' Ruh-Nya kepada Adam, yakni setelah Allah menyempurnakan kejadian Adam sebagai seorang manusia. Jadi, kita dapat mengambil kesimpulan umum, bahwa kualitas Ruh itulah yang menyebabkan meningkatnya kualitas seorang manusia, dari sebelumnya tidak meiliki ruh kemudian memilikinya, sehingga menjadikan para malaikat menghormatinya.
Yang kedua, tingginya derajat eksistensi yang disebut Ruh itu terlihat dari bagaimana Allah menyebutnya sebagai "Ruh-Ku." Tidak pernah Allah, dalam semua firman-Nya, menggunakan kata ganti kepunyaan 'KU' untuk Jiwa. Misalnya, mengatakan 'Jiwa-KU'. Tetapi Dia menggunakan kata ganti kepunyaan itu, untuk menggambarkan Ruh.
Penting untuk dipahami bahwa penggunaan kata "Ruh-Ku" ini tentu tidak boleh ditafsirkan secara keliru misalnya sebagai Ruh Allah yang masuk ke dalam diri manusia. Melainkan harus dipahami, karena memang demikian adanya, sebagai Ruh milik (ciptaan) Allah yang ditiupkan ke dalam diri makhluk ciptaan-Nya. Meskipun di ayat lain, Allah juga mengatakan "sebagian dari Ruh-Ku", yang menuntun kita pada pemahaman bahwa Allah ‘mengimbaskan’ sebagian dari sifat-sifat-Nya kepada manusia lewat Ruh itu.
Dengan Ruh itulah kemudian manusia menjadi memiliki kehendak. Dengan Ruh itu pula manusia bisa berilmu pengetahuan. Dengan Ruh itu pula ia menjadi bijaksana, memiliki perasaan cinta dan kasih sayang, serta berbagai sifat ketuhanan, tapi dalam skala manusia. Ya, Ruh adalah dzat yang menjadi media penyampai sifat-sifat Ketuhanan di dalam kehidupan manusia.
" ... dan Maryam puteri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari Ruh Kami; dan dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab Nya; dan adalah dia termasuk orang-orang yang ta'at." (QS. At-Tahrim [66]: 12)
"Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya Ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur." (QS. As Sajadah[32]: 9)
Dalam kaitannya dengan fisik, Allah menjelaskan bahwa Ruh tersebutlah yang menjadikan fungsi-fungsi kehidupan seperti penglihatan, pendengaran dan hati seorang manusia bisa dipahami oleh jiwa. Jika tidak karena Ruh, maka fungsi penglihatan, pendengaran dan 'hati' tidak menghasilkan kefahaman sebagaimana seorang manusia. Melainkan, bagaikan seekor hewan saja. Hal ini dikemukakan oleh Allah dalam firman-Nya.
"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai." (QS. Al A'raaf [7]: 179)
Jadi kita bisa merasakan betapa istimewanya Ruh. Ruh lah yang menjadikan kita sebagai manusia seutuhnya, yang 'menularkan' sifat-sifat Allah yang Serba Sempurna dalam skala kehidupan manusia. Karena demikian tingginya kualitas Ruh itu, maka dalam ayat lain, Allah menegaskan bahwa Ruh adalah urusan Allah.
"Dan mereka bertanya kepadamu tentang Ruh. Katakanlah: "Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit." (QS. Al Israa'[17]: 85)
Perbedaan yang kedua antara Jiwa dan Ruh adalah pada fungsinya.
Jiwa digambarkan sebagai ‘sosok’ yang bertanggung jawab atas segala perbuatan kemanusiaannya. Bukan Ruh yang bertanggung jawab atas segala perbuatan manusia, melainkan Jiwa.
Ruh adalah dzat yang selalu baik dan berkualitas tinggi. Sebaliknya Hawa Nafsu adalah dzat yang berkualitas rendah dan selalu mengajak kepada keburukan. Sedangkan Jiwa adalah dzat yang bisa memilih kebaikan atau keburukan tersebut. Maka, Jiwa harus bertanggung jawab terhadap pilihannya itu.
Setiap Jiwa akan menerima konsekuensi atau balasan dari perbuatan jeleknya atau perbuatan baiknya. la terkena dosa dan pahala. Sedangkan Ruh, selalu ‘mengajak’ kepada kebaikan. Ini juga ada kaitannya dengan istilah Ruh yang digunakan untuk menyebut malaikat. Malaikat adalah agent kebaikan. Lawan dari Iblis dan setan sebagai agent kejahatan.
"Demi malaikat-malaikat yang diutus untuk membawa kebaikan," (QS. Al Mursalat [77]: 1)
"Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syetan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah." (QS. Fathiir [35]: 5)
Dan yang ketiga, Perbedaan itu ada pada sifatnya.
Jiwa bisa merasakan kesedihan, kekecewaan, kegembiraan, kebahagiaan, ketentraman, ketenangan, dan kedamaian. Sedangkan Ruh bersifat stabil dalam 'kebaikan' tanpa mengenal perbandingan. Ruh adalah kutub positif dari sifat kemanusiaan. Sebagai lawan dari sifat setan yang negatif.
Dalam kalimat yang berbeda, Ruh juga digambarkan bagaikan malaikat yang mengajak pada cahaya yang terang benderang, melepaskan diri dari dunia kegelapan hawa nafsu. Seiring dengan substansi malaikat yang terbuat dari cahaya.
Sedangkan Jiwa adalah sosok yang 'bergerak' dan kualitasnya berubah terus di antara 'kutub cahaya' sang Ruh dengan 'kutub kegelapan' tubuh manusia yang terbuat dari tanah. Antara 'kutub malaikat' dan 'kutub setan'.
Jadi kalau digambarkan secara ringkas, Allah menciptakan tubuh manusia dari material tanah dan kemudian 'meniupkan' sebagian Ruh-Nya kepada tubuh itu. Maka, hiduplah' bahan organik tanah' menjadi tubuh manusia, disebabkan oleh adanya Ruh. Dan akibat dari bersatunya tubuh dan Ruh, sejak saat itu pula mulai aktiflah Jiwa manusianya.
Jadi, Jiwa adalah akibat. Bukan penyebab. Penyebab utama adalah masuknya Ruh ke dalam tubuh , kemudian muncullah Jiwa sebagai interaksi antara Ruh dengan tubuh.
Di dalam tubuh yang sudah ada Ruhnya itulah Jiwa berkembang mencapai bentuknya yang tertinggi. Ada dua kutub yang saling tarik-menarik di dalam diri kita, yaitu: Ruh dan tubuh.
Ruh mewakili sifat-sifat malaikat yang penuh dengan ketaatan, keikhlasan, akal sehat, kesucian, cinta kasih dan kesempurnaan. Sedangkan tubuh mewakili sifat-sifat iblis dan setan yang menggambarkan kehidupan materialistik, pemenuhan kebutuhan badaniah, keserakahan, kesombongan, pertentangan, kemarahan, dan segala tipu daya kehidupan.
Dalam kalimat berbeda, Ruh menggambarkan Akhirat sebagai kehidupan yang sesungguhnya, sedangkan tubuh menggambarkan Dunia sebagai kehidupan sementara yang penuh kepura-puraan dan semu.
Ruh adalah Akal Sehat, sedangkan tubuh adalah Hawa Nafsu!
Ruh adalah Akal Sehat, sedangkan tubuh adalah Hawa Nafsu!
[Sumber: News7Share]
UNTUK DIPERHATIKAN
Admins menghormati hak kebebasan berpendapat anda dalam merespons artikel manapun yang tersaji di sini. Karenanya, tidak ada pemberlakuan persyaratan khusus yang dapat diartikan sebagai pembatasan atas hak tsb. Sebagai gantinya, kami hanya minta anda menghormati kewajiban moral anda sendiri dengan menghargai tata-krama serta adab yang berlaku dalam budaya kita. Ekspresikanlah pendapat anda dengan menggunakan bahasa yang baik. Terima kasih.
0 Comments:
Post a Comment