professor Perjanjian Baru di Dallas Theological Seminary, tidak dapat menyembunyikan rasa geramnya, setelah membaca The Da Vinci Code.
Katanya, “No longer is The Da Vinci Code a mere piece of fiction. It is a novel clothed in claims of historical truth, critical of institutions and beliefs held by millions of people around the world.”
Jadi, kata professor ini, Da Vinci Code memang bukan sekadar novel fiksi biasa, tetapi sebuah novel yang diselubungi dengan klaim kebenaran historis dan kritik terhadap institusi dan kepercayaan agama Kristen.
Katanya, “No longer is The Da Vinci Code a mere piece of fiction. It is a novel clothed in claims of historical truth, critical of institutions and beliefs held by millions of people around the world.”
Jadi, kata professor ini, Da Vinci Code memang bukan sekadar novel fiksi biasa, tetapi sebuah novel yang diselubungi dengan klaim kebenaran historis dan kritik terhadap institusi dan kepercayaan agama Kristen.
Maka, Bock mengerahkan kemampuannya untuk menulis bantahan terhadap novel ini. Melalui bukunya, Breaking the Da Vinci Code (Nashville: Nelson Books, 2004). Bock melakukan kajian historis untuk mengkritik berbagai fakta sejarah yang disajikan Brown.
Bock hanyalah satu dari puluhan teolog Kristen yang tersengat The Da Vinci Code. Di toko-toko buku internasional, kini berjejer puluhan buku yang menyanggah novel itu.
Ya, The Da Vinci Code, memang hanya sebuah novel fiksi. Tetapi, novel itu telah menyengat dan menggoncang kepercayaan dalam tradisi Kristen yang telah berumur 2000 tahun. Maka, meski hanya sebuah novel, sebuah cerita fiksi, tetapi dihadapi dengan serius oleh kalangan teolog Kristen. Novel yang dibaca oleh puluhan juta orang di dunia ini bagaimana pun termasuk luar biasa dan digarap dengan riset yang serius. Brown mengklaim bahwa berbagai fakta sejarah seputar Yesus, Maria Magdalena, Opus Dei, The Priori of Sion, yang dipaparkan dalam novelnya adalah 100 persen benar. “Semua deskripsi tentang karya seni, arsitektur, dokumen, dan ritual rahasia yang dipaparkan dalam novel ini adalah akurat,” tulis Brown dalam pembukaan novelnya.
Mengapa novel ini begitu menyengat para teolog Kristen? Tidak lain karena novel ini memaparkan fakta-fakta baru tentang Yesus yang membongkar dasar-dasar kepercayaan Kristen yang bertahan selama 2000 tahun. Dalam Kristen, dogma pokok dan paling inti adalah kepercayaan tentang kebangkitan Yesus (resurrection). Bahwa setelah mati di tiang salib, Yesus bangkit pada hari ketiga untuk menebus dosa umat manusia. Dalam Bible Perjanjian Baru disebutkan, bahwa saksi pertama kebangkitan Yesus – yang menyaksikan kubur Yesus kosong – adalah seorang wanita bernama Maria Magdalena.
ANAK CUCU YESUS
Jika dasar kepercayaan ini dibongkar, maka runtuhlah agama Kristen. Paul Young, dalam bukunya, Christianity, menulis, bahwa tanpa resurrection, maka tidak ada “kekristenan”. Ibarat potongan-potongan gambar (jigsaw), maka jika resurrection dibuang, jigsaw itu tidak akan membentuk apa yang disebut sebagai Christianity.
“We can not remove a portion of the Christian jigsaw labelled “resurrection” and leave anything which is recognizable as Christian faith. Subtract the resurrection and you destroy the entire picture.” (Paul Young, Christianity, London: Hodder Headline Ltd, 2003).
Nah, the Da Vinci Code adalah sebuah novel yang memporak-porandakan sebuah susunan gambar yang bernama Kristen itu. Betapa tidak, dalam novel ini, misalnya digambarkan bahwa sebelum disalib Yesus sebenarnya sempat mengawini Maria Magdalena dan mewariskan gerejanya kepada Maria Magdalena, bukan kepada Santo Petrus yang kemudian melanjutkan pendirian Gereja di Roma. Bahkan, bukan hanya kawin, Yesus pun punya keturunan dari Maria Magdalena, yang karena takut dikejar-kejar murid-murid Yesus maka melarikan diri ke Perancis. Keturunan Yesus itu masih tetap ada hingga kini, dan selama ratusan tahun memelihara tradisi Gereja garis Maria Magdalena. Rahasia ini masih tetap dipegang, dan disimpan dengan sangat ketat. Selama ratusan tahun itu pula, gereja Katolik berusaha memburu para penganut Gereja Maria Magdalena dan membantai anak keturunan Yesus yang dikhawatirkan mengancam kekuasaan Gereja Katolik dan Gereja-gereja yang menuhankan Yesus.
Dalam novelnya, cerita dan fakta sejarah seputar Yesus dihadirkan melalui dialog tokoh-tokohnya, sehingga terkesan sebagai ungkapan realitas sejarah. Karena itu, dalam beberapa iklannya, buku ini digambarkan sebagai “memukau logika dan menggoyang iman.” Bukan itu saja. Melalui The Da Vinci Code, Brown juga membangun citra buruk Vatikan dengan nyaris “sempurna”. Bagaimana, misalnya, Paus mendukung aktivitas Opus Dei, sebuah kelompok Katolik yang tidak segan-segan melakukan pembunuhan dengan kejam dalam menjalankan misinya.
Sebut misalnya, sebuah dialog antara agen Sophie Neveu, agen rahasia Perancis yang juga keturunan Maria Magdalena, dengan Leigh Teabing, seorang yang digambarkan sebagai bangsawan Inggris dan pakar sejarah Kristen. Sophie hanya terbengong-bengong mendapatkan berbagai fakta baru seputar Yesus dari Teabing. Ia sulit menolak bukti yang disodorkan Teabing dari Gnostic Bible, bahwa Yesus memang mengawini Mary Magdalena dan mempunyai keturunan. Di Gospel of Philip, misalnya tertulis:
“And the companion of the Saviour is Mary Magdalene. Christ loved her more than all the disciples and used to kiss her often on her mouth. The rest of the disciples were offended by it and expressed disapproval. They said to him, “Why do you love her more than all of us?”
Jadi, kata Bible ini, Yesus mempunyai pasangan bernama Mary Magdalena dan terbiasa mencium Maria di bibirnya. Yesus mencintai Magdalena lebih dari pengikutnya yang lain, sehingga menyulut rasa iri hati. Itulah yang akhirnya memicu pelarian Mary Magdalena dari Yerusalem ke Perancis dengan bantuan orang-orang Yahudi.
Dalam bahasa Aramaic, kata “companion” menurut Teabing, bisa diartikan sebagai “pasangan”. Sophie yang membaca bagian-bagian berikutnya dari Bible Philip itu menemukan fakta betapa romantisnya hubungan Yesus dengan Maria Magdalena. Ia lalu mengingat masa silamnya, ketika para pendeta Perancis mendesak pemerintahnya untuk melarang peredaran film The Last Temptationn of Christ; sebuah film garapan Martin Scorsese yang menggambarkan Yesus mengadakan hubungan seks dengan seorang wanita bernama Maria Magdalena.
Dalam bahasa Aramaic, kata “companion” menurut Teabing, bisa diartikan sebagai “pasangan”. Sophie yang membaca bagian-bagian berikutnya dari Bible Philip itu menemukan fakta betapa romantisnya hubungan Yesus dengan Maria Magdalena. Ia lalu mengingat masa silamnya, ketika para pendeta Perancis mendesak pemerintahnya untuk melarang peredaran film The Last Temptationn of Christ; sebuah film garapan Martin Scorsese yang menggambarkan Yesus mengadakan hubungan seks dengan seorang wanita bernama Maria Magdalena.
Dalam diskursus gender equality saat ini, wacana tentang pewarisan Gereja oleh Yesus kepada seorang wanita tentu saja sangat menarik. Sebab, hingga kini, gereja Katolik tetap tidak mengizinkan wanita menjadi pastor. Begitu juga dengan doktrin “larangan menikah bagi pastor” (celibacy), masih tetap dipertahankan, meskipun sekarang mulai banyak para teolog Katolik yang menggugat larangan kawin ini. Prof Hans Kung, misalnya, melalui bukunya, The Catholic Church: A Short History (New York: Modern Library, 2003), menyebut doktrin celibacy bertentangan dengan Bible (Matius, 19:12, 1 Timotius, 3:2). Doktrin ini, katanya, juga menjadi salah satu sumber penyelewengan seksual di kalangan pastor. Pendukung novel Dan Brown tentu akan setuju dengan gagasan Prof Hans Kung dan ide bolehnya wanita menjadi pastor. Logikanya, jika Yesus saja kawin dan mewariskan gerejanya kepada wanita, maka mengapa pengikutnya dilarang kawin dan melarang wanita menjadi pastor.
Sebenarnya gagasan Dan Brown bukanlah hal baru. Tahun 1982, terbit buku Holy Blood, Holy Grail, yang bercerita tentang perkawinan Yesus dengan Mary Magdalene dan punya anak keturunan. Bahkan, soal kebangkitan Yesus itu sendiri menjadi perdebatan yang panas di kalangan teolog. Apakah kebangkitan itu benar-benar terjadi, atau sekedar cerita; apakah kebangkitan itu bersifat objektif atau subjektif.
YESUS SEMINAR
Sejak tahun 1985, misalnya, sudah dimulai penyelidikan Yesus Sejarah yang lebih dikenal dengan nama ‘Jesus Seminar’ di Amerika Serikat. Mereka meragukan fakta historis, bahwa Yesus bangkit. Kelompok ini dimotori oleh John Dominic Crossan dan Robert W Funk yang disponsori oleh Westar Institute. Mereka mengadakan seminar-seminar di sejumlah kota di AS dan menerbitkan berbagai buku seperti The Five Gospel, The Acts of Jesus, dan The Gospel of Jesus.
Sejak ratusan tahun lalu, perdebatan tentang Yesus memang tidak pernah berhenti. Masalahnya, tidak mudah menjelaskan dengan logika yang masuk akal, bahwa Yesus adalah Tuhan sekaligus manusia. Sejak awal-awal kekristenan, sudah muncul kelompok Arius yang menolak pendapat bahwa Yesus adalah Tuhan. Arius dan pengikutnya dikutuk Gereja.
Dalam bukunya, Who Killed Jesus (New York: Harper Collins Publishers, 1995), John Dominic Crossan, menulis cerita tentang kubur Yesus yang kosong adalah “satu cerita tentang kebangkitan dan bukan kebangkitan itu sendiri.” Cerita tentang Yesus seperti tertera dalam Bible, menurut Crossan, disusun sesuai dengan kepentingan misi Kristen ketika itu. Termasuk cerita seputar penyaliban dan kebangkitan Yesus.
Perdebatan seputar Yesus bahkan pernah menyentuh aspek yang lebih jauh lagi, yakni mempertanyakan, apakah sosok Yesus itu benar-benar ada atau sekadar tokoh fiktif dan simbolik? Pendapat seperti ini pernah dikemukakan oleh Arthur Drews (1865-1935) dan seorang pengikutnya William Benjamin Smith (1850-1934). Bahkan, perdebatan seputar Yesus itu kadangkala sampai menyentuh moralitas Yesus sendiri dalam aspek seksual. Soal ketidakkawinan Yesus misalnya: karena tidak mampu, karena tidak ada wanita, atau karena homoseks.
The Times, edisi 28 Juli 1967, mengutip ucapan Canon Hugh Montefiore, dalam konferensi tokoh-tokoh gereja di Oxford tahun 1967: “Women were his friends, but it is men he is said to have loved. The stricking fact was that he remained unmarried, and men who did not marry usually had one of three reasons: they could not afford it, there were no girls, or they were homosexual in nature.”
Jadi, wacana tentang Yesus dalam dunia akademis memang sudah bertebaran. Kelebihan Dan Brown adalah mampu mengangkat wacana itu ke dalam sebuah novel populer. “Ramuan yang tepat” antara fakta sejarah dan fiksi menjadikan novel ini memang berpotensi besar mengguncang kepercayaan iman Kristen. Apalagi, masyarakat Barat memang dikenal hobi dengan mitos dan legenda. Mereka tak henti-hentinya menciptakan berbagai fiksi dan mitos dalam kehidupan mereka: Superman, Batman, Spiderman, Rambo. Persis seperti nenek moyang mereka di Yunani Kuno.
Baca juga:
UNTUK DIPERHATIKAN
Admins menghormati hak kebebasan berpendapat anda dalam merespons artikel manapun yang tersaji di sini. Karenanya, tidak ada pemberlakuan persyaratan khusus yang dapat diartikan sebagai pembatasan atas hak tsb. Sebagai gantinya, kami hanya minta anda menghormati kewajiban moral anda sendiri dengan menghargai tata-krama serta adab yang berlaku dalam budaya kita. Ekspresikanlah pendapat anda dengan menggunakan bahasa yang baik. Terima kasih.
0 Comments:
Post a Comment