Sejarah orang Yahudi di Indonesia kemungkinan dimulai dengan kedatangan para penjelajah Yahudi pada abad ke-7 melalui Jalur Sutra Maritim dan terus berlanjut seperti penjelajah dan pemukim Eropa awal, hingga masa modern di wilayah Indonesia.
Agama Yahudi tidak diakui sebagai salah satu dari enam agama resmi negara Indonesia, dan anggota komunitas Yahudi setempat dapat memilih untuk dikosongkan atau mendaftar sebagai "Kepercayaan kepada Tuhan YME (Yang Maha Esa)" atau agama lain yang diakui pada kartu identitas resmi mereka. Walau tidak mendapat pengakuan resmi sebagai agama mayoritas, Kementerian Agama Republik Indonesia tetap memperbolehkan komunitas Yahudi untuk mempraktikkan agamanya, seperti komunitas Zoroastrianisme, Shinto, Taoisme, dan lain-lain berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 dan pasal 29 ayat 2 UUD 1945.
Sebagian besar orang Yahudi Indonesia berasal dari
Eropa Selatan, Inggris, Belanda, Belgia, Jerman, Prancis, Timur Tengah, Afrika Utara, India, Cina, dan Amerika Latin. Yahudi di Indonesia saat ini membentuk komunitas Yahudi yang kecil sekitar 100–550 orang, kebanyakan
Yahudi Sephardi dan
Yahudi Mizrahi (berasal dari Semenanjung Iberia dan Timur Tengah). Sedangkan jumlah orang Indonesia keturunan Yahudi bisa mencapai ribuan yang kebanyakan tidak mempraktikkan agama Yahudi. Saat ini, salah satu komunitas orang Yahudi ortodoks yang terbuka di Indonesia tinggal di
Sulawesi Utara di pulau Sulawesi.
Sejarah
Melalui tulisan musafir Abรป Zayd Hasan al-Sรฎrafรฎ tentang
Pembantaian Guangzhou dalam
Pemberontakan An Shi di abad ke-7, menandakan sudah adanya komunitas Yahudi di
Cina, setidaknya di
Guangzhou pelabuhan yang menghubungkan Cina dan India, kapal perdagangan untuk pelabuhan tesebut diperkirakan akan melalui wilayah Indonesia. Dengan iklim setempat berupa angin
Monsun memerlukan kapal untuk berlabuh berbulan-bulan di berbagai pelabuhan diantara kedua lokasi tersebut, seperti di Semenanjung Malaya dan perairan Sumatra.
Gambaran lebih pasti berasal dari penulis Persia
Buzurg bin Shahriyar di Kitab
Aja'ib Al-Hind Barrihi wa Bahrihi wa Jaza'irihi ("Hal-hal menakjubkan mengenai daratan, lautan, dan kepulauan Al-Hind") yang ditulis pada abad ke-10. Ia menulis seorang Yahudi dari Oman bernama Ish'รขq bin al-Yahรปdรฎ yang melakukan perjalanan ke Cina dan sempat singgah di Sarรฎra (atau Serboza atau Sribuza: mungkin
Kerajaan Sriwijaya?). Bukti lain bisa dilihat berdasarkan catatan dari Ibrรขhรฎm bin Mรปsรข bin Maymรปn (Avraham ben ha-Rambam, Abraham Maimonides) seorang pemimpin Yahudi
Kairo (abad ke-13) yang mengeluarkan fatwa (t’shuva) bagi seorang istri yang dalam posisi aguna (terikat), karena ditinggal suaminya yang merupakan pedagang dari
Aden ke bilรขd al-Hind (India) yang kemudian meninggal dalam perjalanan kembali. Yang menarik adalah ia merupakan pedagang kapur barus (kรขfur) dari Fans'รปr, di
Sumatra (sekarang
Barus). Bukti-bukti tersebut menandakan adanya kaum Yahudi yang terlibat dalam perdagangan dengan wilayah Indonesia di masa lampau.
Pada tahun 1850-an, musafir Yahudi
Jacob Saphir adalah orang pertama yang menulis tentang komunitas Yahudi di
Hindia Belanda setelah mengunjungi
Batavia, Hindia Belanda. Dia telah berbicara dengan seorang Yahudi lokal yang memberitahunya tentang sekitar 20 keluarga Yahudi di kota itu dan beberapa lagi di Surabaya dan Semarang. Sebagian besar orang Yahudi yang tinggal di Hindia Belanda pada abad ke-19 adalah
Yahudi Belanda yang bekerja sebagai pedagang atau berafiliasi dengan rezim kolonial. Anggota komunitas Yahudi lainnya adalah imigran dari Irak atau Aden.
Pada tahun 1930, sensus oleh pemerintah Hindia Belanda mencatat 1.095 orang Yahudi. Pada akhir tahun 1930-an, jumlahnya meningkat hingga 2.500 orang di Pulau Jawa, Pulau Sumatra, dan wilayah lainnya. Tetapi pada saat Perang Dunia 2, jumlah Yahudi di Hindia Belanda diperkirakan sekitar 2.000 jiwa. Umumnya orang Yahudi Indonesia (terutama yang keturunan Belanda dan eropa) sangat menderita di bawah
Pendudukan Jepang di Indonesia, diasingkan dan mereka
dipaksa untuk bekerja di kamp penampungan, walau dalam
Pertempuran Surabaya,
Charles Mussry (yang merupakan keturunan Irak) ikut berjuang bersama laskar-laskar rakyat untuk mempertahankan kedaulatan
Indonesia.
[9] Setelah perang, orang Yahudi yang dilepas banyak menemui berbagai masalah dan berubahnya situasi politik di Indonesia. Pada tahun 1950-an proses nasionalisasi beberapa perusahaan asing oleh
Sukarno, selain itu situasi politik mancanegara seperti
Perang Israel-Palestina, menyebabkan banyaknya migrasi orang Yahudi dari Indonesia. Alih-alih kembali ke
Belanda, kebanyakan memilih bermigrasi ke
California Selatan di
Amerika Serikat, sedangkan kebanyakan keturunan
Irak bermigrasi ke
Melbourne,
Australia. Tetapi komunitas Yahudi keturunan Iraq yang juga memiliki keturunan Indonesia menetap lebih lama di
Surabaya, walau akhirnya kebanyakan bermigrasi ke
Israel pada tahun 1958. Komunitas orang Yahudi di Israel yang berasal dari Hindia Belanda dan Indonesia, mendirikan organisasi Tempo Dulu dibawah Shoshanna Lehrer.
Pada masa
Orde Lama, agama Yahudi sempat diakui di
KTP dengan nama Hebrani, walau sejak UU No. 1 PNPS/1965 oleh pemerintah
Orde Baru, para keturunan Yahudi diminta untuk berasimilasi dengan penduduk lokal dan dikategorikan dalam sensus dengan agama lain. Sejak lengsernya
Orde Baru dan mulainya
era Reformasi, beberapa keturunan Yahudi mulai mengidentifikasi diri mereka dan mulai mempraktikan agama Yahudi kembali, terutama pada komunitas di
Sulawesi Utara.
Populasi
Asimilasi dan perubahan populasi
Karakteristik sosial dan budaya Indonesia berkontribusi pada
asimilasi. Kebanyakan orang Yahudi Indonesia mengubah nama mereka menjadi nama Indonesia. Orang Yahudi diwajibkan untuk mengubah nama dan kepercayaan mereka. Walau sejak
Era Reformasi, beberapa keturunan Yahudi mengubah namanya kembali dan mulai mempraktikan agama Yahudi terutama bagi komunitas di Sulawesi Utara.
Agama di Indonesia diatur oleh pemerintah. Orang Yahudi Indonesia menghadapi tantangan untuk mendeklarasikan agama di KTP (
Kartu Tanda Penduduk). Setiap warga negara yang berusia di atas 17 tahun wajib membawa KTP yang mencantumkan agama pemegangnya dan Indonesia hanya mengakui enam agama atau kepercayaan kepada Tuhan YME. Kabarnya, banyak orang Yahudi yang mendaftar sebagai orang Kristen, walau ada pula yang mengosongkan kolom agama pada KTP.
Diperkirakan 20.000 keturunan Yahudi masih tinggal di Indonesia, meski banyak yang kehilangan identitas sejarahnya. Karena sebagian besar orang Yahudi Indonesia sebenarnya juga merupakan keturunan dari Belanda, Eropa Selatan dan Timur Tengah, bahasa yang digunakan oleh mereka termasuk bahasa Indonesia, Melayu, Arab, Ibrani, Portugis, dan Spanyol.
Sinagoge
Komunitas Yahudi Indonesia sangat kecil, dengan sebagian besar anggotanya tinggal di Sulawesi Utara dan sebagian kecil di ibu kota Jakarta dan di Surabaya. Banyak pemakaman Yahudi masih ada di seluruh negeri seperti di
Pemakaman Kerkhof di Aceh, Semarang dan Surabaya di Jawa, di Pangkalpinang di Pulau Bangka, di Palembang di Sumatera Selatan, dan di Pineleng dan Matungkas di Sulawesi Utara.
Berdasarkan penelitian Zainal Abidin, komunitas Yahudi di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu aliran
Ortodoks dan
Reformasi (atau disebut juga liberal). Kelompok Ortodoks berpusat di
Tondano dibawah pimpinan rabi Yaakov Baruch. Sedangkan kelompok kedua terbagi menjadi Konservatif, Reformasi, dan Rekonstruksionis yang bergabung dalam satu organisasi United Indonesia Jewish Community (UIJC), seperti rabi Benjamin Meijer Verbrugge, yang membawahi 6 'para-rabi' untuk komunitas kecil seperti di Ambon, Jakarta, Jayapura, Timika, dan Manado.
Torat Chaim, Jakarta
Jemaat kecil yang dipimpin oleh Rabbi
Tovia Singer, yang sebelumnya adalah satu-satunya rabbi di Indonesia saat ini. Sinagoge ini beroperasi bersama dengan Yayasan Eits Chaim Indonesia, satu-satunya organisasi Yahudi di Indonesia yang memiliki sanksi resmi, di bawah naungan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen di
Kementerian Agama Republik Indonesia.
Sinagoge Beit Torat Chaim, Jayapura
Sebuah jemaat kecil di Jayapura yang mendirikan sinagoge tahun 2014 di atas lahan seluas 120 meter milik rabi Aharon Sharon Melamdim, pemimpin komunitas Yahudi di Jayapura.
Sinagoge Surabaya
Terdapat sinagoge di Surabaya, ibu kota provinsi Jawa Timur di Indonesia. Selama bertahun-tahun itu adalah satu-satunya sinagoge di negara itu. Sinagoge ini menjadi tidak aktif mulai tahun 2009 dan tidak memiliki gulungan
Taurat atau
rabi. Itu terletak di Jalan Kayun 6 2.000 m2 diatas tanah dekat Sungai Kali Mas di rumah yang dibangun pada tahun 1939 selama pemerintahan Belanda.
Rumah itu dibeli oleh komunitas Yahudi setempat (asal Irak) dari seorang dokter Belanda pada tahun 1948 dan diubah menjadi sinagoge. Hanya
mezuzah dan 2
Bintang Daud di pintu masuk yang menunjukkan keberadaan sinagoge. Komunitas di Surabaya tidak lagi cukup besar untuk mendukung
minyan, yaitu kumpulan sepuluh orang yang dibutuhkan untuk melakukan ibadah umum. Gedung sinagoge yang merupakan cagar budaya, dijual oleh pemiliknya dan dihancurkan oleh pihak swasta pada tahun 2013 dan dijadikan hotel.
Sinagoge Sha'ar Hasyamayim
Sejak tahun 2003, Sinagoge Shaar Hasyamayim telah melayani komunitas Yahudi lokal sekitar 30-50 orang di kota Tondano, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Saat ini merupakan satu-satunya sinagoge terbuka di Indonesia yang menyediakan layanan, dan merupakan aliran
Sefardi, tidak seperti aliran
Hasidut seperti kebanyakan keturunan Belanda. Sebuah komunitas kecil Yahudi lokal tetap berada di daerah tersebut, sebagian besar merupakan keturunan Yahudi dan beralih kembali ke Yudaisme. [
sumber]
Orang keturunan Yahudi Indonesia
Saya adalah salahseorang cantrik Sekolah Minggu Gus Mendem dan Kawan Kawan dalam barisan Muslim yang melawan aksi penyesatan iman dan segala bentuk upaya pemurtadan terhadap umat Islam yang dilakukan secara melawan hukum baik oleh individu-individu maupun kelompok-kelompok tertentu demi kepentingan Kristen. Meski demikian, blog ini tidak dimaksudkan untuk umat Kristen secara luas melainkan terbatas hanya untuk para Misionaris, Evangelis, dan pendukungnya saja. Publikasi blog ini adalah bagian dari tugas para cantrik Gus Mendem menghimpun berbagai konten yang relevans dengan isu di atas, untuk selanjutnya diwartakan ke tengah-tengah komunitas penginjil dimaksud
UNTUK DIPERHATIKANAdmins menghormati hak kebebasan berpendapat anda dalam merespons artikel manapun yang tersaji di sini. Karenanya, tidak ada pemberlakuan persyaratan khusus yang dapat diartikan sebagai pembatasan atas hak tsb. Sebagai gantinya, kami hanya minta anda menghormati kewajiban moral anda sendiri dengan menghargai tata-krama serta adab yang berlaku dalam budaya kita. Ekspresikanlah pendapat anda dengan menggunakan bahasa yang baik. Terima kasih.
0 Comments:
Post a Comment